Meminta dan Memuja

Banyak umat Buddha datang ke vihara hanya untuk memasang dupa (hio) dan meminta kepada Buddha agar dikaruniai kesehatan, rezeki, jodoh, dan lain-lain. Mereka meyakini cara yang dilakukan sudah benar karena ketidaktahuannya menganggap meminta itu adalah memuja.
Sesungguhnya memuja bukanlah meminta. Meminta merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan atas dasar ketidaktahuan.
Seringkali umat bertanya; “Bhante, boleh tidak sebagai umat Buddha meminta berkah kepada Buddha, seperti kesehatan, umur panjang, rezeki?”
Saya menjawab dengan perumpamaan benih padi; “Berkah itu ibarat seperti benih padi yang anda tabur di ladang yang subur. Sepanjang siang dan malam terus berdoa dan meminta kepada Buddha untuk besok pagi panen, apakah bisa?
Padi itu akan panen sesuai kondisi waktu dan iklimnya, tanpa harus diminta. Sama halnya berkah akan menjadi milik anda, kalau anda menabur benih kebaikan dalam hidup ini. Meningkatkan keyakinan dengan sadar malu berbuat jahat, takut akan akibatnya, melaksanakan moralitas dengan baik, memiliki semangat dalam berlatih, dan bijaksana dalam hidup.
*) Menghormat dan Menyembah
Sesungguhnya dalam Dhamma dijelaskan menghormat kepada Tiratana merupakan hal yang mulia. Kemulian itu akan lenyap apabila umat Buddha menyamakan istilah menghormat dengan menyembah. Buddha bukan tempat untuk disembah untuk diminta berkahnya. Buddha tidak mengajarkan siswanya untuk menjadi pengemis spiritual.
Pratima (patung) Buddha memiliki nilai keagungan dari seseorang yang telah mencapai kesempurnaan, sepatutnya umat Buddha menghormatnya.
Buddha menjelaskan dalam Aṅguttara Nikāya IV; 21, bahwa “Para Buddha terdahulu, saat ini, maupun yang akan datang menghormat Dhamma sejati. Itulah hukum alam dari para Buddha. Karena itu orang yang menginginkan kebaikannya sendiri, harus dengan rendah hati menghormat Dhamma sejati, dengan mengingat ajaran Buddha.”
Selain itu menghormat dalam Dhamma dijelaskan ada tiga macam, yaitu:
- mempelajari Dhamma dengan penyelidikan Dhamma,
- melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
- menembus Dhamma dengan pengalaman diri yang bersumber dari pengetahuan dan berlandaskan pada kebijaksanaan.
Sehingga anggapan umat Buddha sebagai penyembah berhala dapat diluruskan dengan pencapaian yang diraih.

*) Bakti dan pasrah
Umat Buddha selayaknya meletakkan baktinya pada Dhamma dengan tidak pasrah pada nasib dan takdir. Dalam Dhamma nasib dan takdir adalah kamma sebagai penentu dari diri sendiri. Karena Buddha bukanlah pencipta yang dapat menghukum siswanya yang salah, ataupun juru selamat yang dapat menolong umatnya dari berbuat buruk.
Buddha adalah Guru yang mendidik siswanya untuk belajar bertanggung jawab atas perbuatannya dan mendidik agar mandiri, tidak manja. Buddha telah meninggalkan ajaran Dhamma yang dapat menuntun kita keluar dari samsara dengan semangat melaksanakan moralitas, mengembangkan meditasi, malu berbuat jahat, takut akan akibat dari keburukan. Dengan demikian, maka pengetahuan Dhamma akan muncul, keyakinan akan meningkat, serta kebijaksanaan pun akan muncul.
Sehingga umat Buddha tidak lagi menjadi peminta berkah, melainkan pelaksana Dhamma.
Marilah kita berlatih dalam Dhamma sehingga pada akhirnya kita semua dapat merealisasi pencapaian Nibbāna dengan dasar pengetahuan kebijaksanaan.


Dikutip dan diedit dari : "Memuja Bukan Meminta" - Bhikkhu Uggaseno ; Artikel Dhamma Facebook

Komentar