my story (part 2)

Waktu aku berumur 18tahun, suatu ketika suami teman Papa meninggal. Waktu itu, Sang Isti menyakini bahwa suaminya telah disantet sampai mati dan hampir setiap hari dia datang ke toko kami menangis meratapi nasibnya. Oleh karenanya, Sang Istri ini ingin ke dukun untuk meminta jimat agar dia selamat dari santet, yang menurutnya adalah kiriman dari saingan bisnisnya. Mendengar itu, Papa dan Mama karena tidak tega akhirnya menawarkan diri untuk mengantarkan Sang Istri tersebut ke dukun(kenalan Sang Istri). Setelah itu, beberapa hari kemudian, Papa dan Mama berangkat ke Jakarta. Dukun kenalan istri teman Papa datang ke toko. Dukun itu meminta untuk meminjam mobil Papa. Aku pun menelpon Papa di Jakarta. Papa dan Mama heran, karena Papa dan Mama tidak mengenal dukun tersebut. Waktu itu, Papa dan Mama hanya mengantarkan temannya saja ke praktek dukun tersebut. Otomatis, Papa tidak bersedia meminjamkan mobil kami. Karenanya dukun tersebut marah meninggalkan toko kami sambil mengucapkan sumpah serapah. Besoknya, toko kami yang biasanya sibuk luar biasa dari pagi, mendadak sepi. Bahkan tidak ada 1 ekor nyamuk pun yang masuk. Karena sepi, pegawai-pegawai Papa nongkong di depan toko. Mereka melihat beberapa pelanggan kami, jalan mondar mandir seakan mencari sesuatu. Dan pegawai Papa juga ada yang berteriak menyapa pelanggan kami, jaraknya dekat, namun suara pegawai Papa seperti tidak terdengar oleh pelanggan kami. Padahal pelanggan tersebut orang yang ramah dan juga senang menyapa. Waktu sudah menunjukkan jam 11 siang, namun belum ada satu pun pelanggan yang datang berbelanja. Entah mengapa, mendadak kepalaku sangat sakit sekali seperti mau pecah. Untunglah hari itu, Koko sedang malas kuliah. Aku pun meminta Koko untuk jaga toko, sementara aku hendak naik untuk beristirahat. Ketika itu, aku seperti di tuntun. Aku yang hendak istirahat, bukannya masuk ke kamarku sendiri, tapi aku malah masuk ke kamar Papa-Mama. Di kamar tersebut aku melihat seekor ulat beraneka warna, berukuran setengah jari kelingking. Kemudian, aku seperti dituntun untuk segera membunuh ulat tersebut dan membuangnya jauh dari rumah. Padahal aku tidak biasa menyakiti makhluk hidup. Kemudian, aku pun melakukannya. Setelah aku membuang ulat tersebut, sakit kepalaku yang tadi teramat sangat, mendadak sembuh dengan sendirinya. Kemudian toko kami kembali ramai, pelanggan berbondong-bondong masuk ke toko kami. Pelanggan-pelanggan tersebut mengatakan bahwa sungguh aneh, dari tadi mereka tidak dapat menemukan toko kami. Bahkan pelanggan yang datang setiap hari pun, mengatakan hal yang sama.

Ketika aku berumur 19 tahun, pada suatu ketika Mama mengajakku ke Jakarta untuk liburan. Karena aku adalah anak Mama yang paling jarang diajak liburan. Dari Jakarta, Saya, Mama, Omku yang adalah adik mama dan anaknya bertolak ke Lembang. Katanya di sana ada sebuah vihara dengan arsitektur bergaya Thailand. Sepanjang perjalanan ke sana, kepalaku sakit sekali. (Memang kepalaku sakit setiap hari, walau aku telah meminum obat sakit kepala sekalipun, namun hari itu, kepalaku sakit yang teramat sangat). Ketika sampai di sana, hari telah gelap. Tanpa basa basi, aku turun dari mobil dan segera masuk ke kamar yang memang disediakan untuk umat yang ingin menginap di sana untuk beristirahat. Sedangkan rombongan yang lainnya keliling Vihara untuk berdoa dahulu. Setelah selesai, Mama pun masuk ke kamar. Kamar pria dan wanita terpisah. Mama menyuruhku untuk mandi air panas dahulu, karena vihara tersebut terletak di dataran tinggi sehingga suhu pada malam hari cukup dingin menusuk. Ketika aku berdiri di bawah shower dan memutar air panas, air panas yang awalnya mengalir lancar, segera berubah menjadi air dingin. Karena kedinginan, aku menyingkir dari bawah guyuran air shower tersebut dan seketika itu juga, air berubah menjadi air panas sampai mengeluarkan uap. Melihat itu, aku kembali melangkah berdiri dibawah guyuran air shower dan air kembali menjadi dingin. Begitu seterusnya, Padahal aku tidak memutar kran air sama sekali. Karena kesal, aku pun mengurungkan niatku untuk mandi. Dan akhirnya Mama masuk untuk mandi duluan. Setelah Mama mandi, aku bertanya ke Mama apakah air panasnya mengalir lancar? Mama bilang bahwa air panasnya bagus,tidak ada masalah. Aku kembali masuk ke kamar mandi untuk mandi, namun setiap aku berdiri dibawah shower, air yang awalnya panas sampai beruap, berubah menjadi dingin. Akhirnya aku pasrah mandi air dingin dan kepalaku semakin sakit. Dan kemudian kami pun tidur.

Malamnya, aku terbangun hendak buang air kecil. Alangkah terkejutnya aku, mataku tidak dapat terbuka. Aku sangat berusaha, namun tidak bisa. Akhirnya dengan panik, aku berteriak meminta pertolongan Mama. Mama segera bangun dan memeriksa keadaanku. Rupanya ada sejenis lapisan yang membuat kedua kelopak mataku menempel (hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya). Dengan hati-hati, Mama membersihkan kedua mataku dan akhirnya, aku bisa membuka kedua mataku kembali. Segera aku berlari ke toilet untuk buang air kecil.

Pada pagi harinya, semua rombongan keliling vihara untuk berdoa karena kami akan kembali ke Jakarta. Walaupun dibesarkan dalam keluarga Buddhist, namun waktu itu aku belum berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Karena semua sekolah tempatku belajar, tidak memiliki mata pelajaran agama Buddha. Dan aku pasti sakit setelah berkunjung ke satu tempat ibadah. Ditambah sejak kecil, aku dilatih untuk jaga toko sepulang sekolah, sehingga aku sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang agama. Waktu itu aku berprinsip, kehidupan hanyalah proses perjalanan dan tidak ada yang instant maka asalkan aku baik (tidak berbuat jahat walau pun itu hanya berbohong atau membunuh semut/menyakiti binatang) dan melakukan yang baik, maka aku pasti akan mendapatkan yang baik.

Karena bosan sendiri, akhirnya aku pun berkeliling vihara. Ketika masuk ke satu aula yang besar, aku melihat rupang Buddha yang megah didalamnya. Dengan enggan aku berlutut, aku pun berkata dalam hati dihadapan rupang Buddha tersebut, aku minta maaf bila aku ada salah. Kemudian aku pun berdiri dan keluar meninggalkan aula tersebut. Rupanya aula tersebut dikelilingi oleh bowl-bowl dan para tamu telah disediakan segelas koin. Dimana koin-koin tersebut dapat dimasukkan ke bowl-bowl sekeliling aula tersebut. Setelah mengisi semua bowl-bowl yang ada, tamu tinggal menghitung berapa sisa koin yang tertinggal dan berdasarkan jumlah koin tersebut, tamu dapat mengambil selembar kertas yang berisi kata-kata bijaksana.

Dengan enggan, aku pun mengambil segelas koin dan berjalan mengisi bowl-bowl tersebut. Ketika berada di pertengahan, tiba-tiba aku merasa dipukul dengan sangat keras sampai kepalaku pusing dan aku mendengar suara berteriak kepadaku “SADARLAH!!!”. Padahal sekelilingku tidak ada orang satu pun. Seketika itu juga, aku bersadar karena kakiku lemas dan pandanganku berputar-putar. Setelah menenangkan diri, aku pun berlari masuk kembali ke aula dan untuk pertama kalinya, aku bersujud dengan hormat dihadapan rupang Buddha.

Kemudian aku kembali berjalan dan aku menemukan perpustakaan dimana para tamu dapat mengambil buku-buku Dhamma secara gratis. Aku pun segera masuk dan mengambil beberapa buku disana untuk aku baca di rumah. Sejak saat itu, aku mulai mencari ajaran Buddha, baik melalui internet maupun lewat buku-buku di toko buku.Aku juga membeli Paritta untuk aku baca di rumah. Ketika Waisak, aku pun ikut merayakannya di vihara.

Satu tahun kemudian, Mama membawaku untuk bertemu dengan guru spiritualku yang pertama di Karawang di sebuah cetiya. Beliau adalah seorang Bhiksu, perawakannya tinggi kurus, tidak banyak bicara, senyumnya penuh kasih, langkahnya ringan seakan-akan beliau sedang terbang. Hal ini mungkin karena Beliau telah menjadi Bhiksu sejak berumur 3tahun di China dan beliau bangun jam 4 subuh setiap hari untuk meditasi dan berlatih Tai Chi. Wajahnya awet muda, aku awalnya mengira beliau berumur 50tahun, namun rupanya Beliau telah berumur hampir 80tahun. Aku memanggil Beliau dengan sebutan Suhu.

Pertama kali berkunjung ke cetiya tersebut, Ketika aku melihat Suhu untuk pertama kalinya, aku bingung. Penampilan Suhu berbeda dengan Bhante-Bhante(Kemudian aku baru tau bahwa Suhu adalah Bhiksu Mahayana jadi otomatis bajunya berbeda dengan Bhante).

Kemudian Mama mengajakku mengambil hio, kemudian keliling Cetiya untuk sembahyang. Yah, Papa dan Mama setiap 2 atau 3 bulan sekali, pasti datang ke sana, untuk berjumpa dengan Suhu. Jadi Mama sangat mengenal tempat itu. Pada waktu itu, aku bingung. Dengan enggan, aku membakar dupaku dan berdiri di altar Tian berdoa. Tiba-tiba, angin kencang menyambarku dan bara-bara merah dupa  yang panas, berjatuhan melukai tanganku(masih membekas sampai sekarang). Aku menoleh ke Mama yang berada hanya tiga langkah disebelahku, Mama sedang sembahyang dengan tenang. Angin tersebut hanya menyambarku seorang saja !!!

Setelah sembahyang dan menenangkan diri karena kesakitan oleh tanganku yang terbakar, aku pun melihat-lihat dan mengambil beberapa buku tentang Buddha Mahayana. Aku baru tau rupanya ada beberapa aliran dalam agama Buddha. Namun semua tujuan ajarannya sama, tergantung Anda cocok yang mana.

Karena kesibukanku yang padat, sehari aku hanya tidur 2-3jam dan pola makanku pun tidak teratur. Jadi walau usiaku masih muda, aku sudah mengidap gangguan maag, ditambah lagi kepalaku sakit setiap hari dan tangan kananku mulai tremor(namun semuanya sudah sembuh seiring dengan berkurangnya aktivitasku). Tapi aku tidak mengeluh karena aku tau, dibalik sebuah kata Penanggung jawab/Bos/atasan maka ada tanggung jawab.

Ketika aku berumur 22 tahun, dimalam sebelum tahun baru imlek, seperti biasa semua keluarga berkumpul untuk santap malam bersama. Malam itu pun, kami semua sudah berkumpul, kecuali Koko. Kami menunggunya sampai jam 11 malam, barulah Koko pulang. Kami semua menunggu kepulangannya untuk makan bersama-sama, namun Koko marah tidak ingin makan bersama kami, dia bahkan mendorong Papa sampai Papa jatuh terbentur kulkas sampai kulkas tersebut penyok. Besoknya, Papa terserang stroke, pembuluh darah dikepala Papa pecah. Untuk berbicara dan bergerak pun Papa kesulitan.                                                                                              2 bulan lamanya, Papa dirawat di rumah sakit. Pada pertengahan tahun itu juga, Koko menikah dan dia pun berhenti kuliah. Koko dan istrinya mulai menyibukkan diri di toko. Sejak saat itu, Koko dan istrinya mulai mengambil alih toko dan aku mulai disingkirkan dari toko secara pelan-pelan. Namun bagiku itu tidak masalah, karena aku jadi mempunyai lebih banyak waktu untuk mendampingi Mama yang sangat terpukul dengan keadaan Papa dan aku jadi punya waktu untuk merawat Papa mulai dari melatih Papa berjalan, menyuapi Papa, memijat-mijat otot-otot Papa yang kaku, hingga memandikan Papa. Bagiku ini adalah saatnya aku berbakti kepada Papa yang selama ini telah bersusah payah membesarkanku.

Setelah beberapa tahun berlalu, aku juga tidak mengerti bagaimana perselisihan antara aku dan Koko menjadi semakin rumit. Koko bahkan melarang aku ke toko kecuali hanya bila Koko yang memanggilku ke toko, dia bahkan menyiapkan sebilah parang yang telah dia asah. Padahal aku pernah berbicara secara pribadi kepadanya bahwa aku tidak pernah berminat berebut harta dengannya, karena aku percaya semua orang memiliki rejekinya masing-masing dan aku tidak mementingkannya. Bagiku kesehatan Papa dan Mama adalah yang utama dan menjaga mereka adalah wujud baktiku kepada orang tuaku.

Ketika aku berumur 25 tahun,Pada awal tahun, aku membawa Mama untuk berobat ke Jakarta. Karena waktu itu, pergelangan kaki Mama retak. Dengan berat hati, aku meninggalkan Papa dengan pendampingan seorang suster perawat. Dari Jakarta, seperti biasa, aku dan Mama singgah ke karawang untuk berjumpa dengan Suhu. Alangkah kagetnya aku, ketika melihat Suhu yang waktu itu telah berumur 80tahun lebih, namun Suhu justru terlihat seperti berumur 20tahun. Yah, Suhu terlihat jauh lebih muda dari biasanya, keriput halus di wajahnya sudah tidak terlihat namun tubuhnya terlihat menyusut namun segar bugar. Dalam hati, aku sangat sedih. Ketika aku dan Mama pulang, aku mengatakan ke Mama bahwa tidak lama lagi, Suhu akan meninggal. Dan ternyata 3 bulan kemudian, Suhu meninggal.

Karena tidak tahan dengan sikap Koko yang setiap hari marah-marah dan hal itu semakin memperburuk kesehatan Papa, akhirnya Mama memutuskan Papa dan Mama tinggal di Jakarta, sedangkan aku tetap tinggal di rumah. Namun setelah berusaha bertahan 1 bulan, aku pun tidak tahan. Aku akhirnya melarikan diri naik pesawat ke Manado.

Di sana, aku bekerja dan hidupku lebih tenang. Karena terbiasa dengan kesibukan, aku yang mendadak mempunyai banyak waktu luang, akhirnya aku mencoba bersosialisasi di social media. Aku berkenalan dengan banyak orang di dunia maya dan kami pun bertukar nomor handphone.

Pada suatu pagi aku terbangun, aku merasa gatal yang teramat sangat di kepalaku. Namun aku tidak mempedulikannya, karena aku harus bergegas pergi bekerja. Setelah mandi pagi, aku berdiri di depan cermin, alangkah kagetnya aku karena aku melihat dibalik kulit kepalaku, ada cacing sedang berjalan-jalan. Makanya dari tadi aku merasa kepalaku sangat gatal. Segera aku menelpon seseorang yang semalam mengajakku berkenalan yang katanya berdomisili di Riau (entah mengapa, aku tau itu adalah ulahnya).  Ketika aku menelponnya, dia hanya tertawa dan mengakui bahwa itu memang ulahnya karena dia ingin menjadikan aku pacarnya. Katanya dia menyantetku dengan menggunakan fotoku yang dia ambil dari sosmedku. Aku mengatakan padanya bahwa aku tidak keberatan menjadi pacarnya, namun kami perlu saling mengenal dahulu. Karena terburu-buru, aku mengakhiri pembicaraan tersebut. Meskipun aku hanya tinggal dalam sebuah kamar yang kecil, namun sejak pengalamanku ketika berjumpa dengan Suhu pertama kali di karawang, setiap hari pagi sebelum beraktifitas dan malam setelah berkerja, aku membaca Ta Pei Cou dan Sin Cing. Walau dalam kamarku tidak ada rupang, dupa bahkan lilin. Aku hanya berdoa menatap langit. Setelah selesai berdoa, aku segera berangkat kerja. Sepulang kerja, aku mandi, kemudian makan dan berdoa. Setelah itu, aku menelpon dia kembali. Aku memohon kepadanya untuk mencabut teluh tersebut dari badanku. Namun dia menolak, dia kuatir aku berpacaran dengan orang lain begitu dia mencabut teluh tersebut dari badanku. Sejak itu, setiap malam, kami berkomunikasi lewat telepon(meski sebenarnya aku enggan). Namun makin hari, gatal dikepalaku semakin parah, karena ulat-ulat tersebut bertambah banyak menggerogoti kepalaku sampai turun ke tengkuk. Dan setiap malam, aku tidak bisa tidur. Aku hanya mendengar suara serangga dan suara dia yang memanggil-manggilku. Setelah setengah bulan kami berteleponan tiap malam, pada suatu malam dia mengatakan bahwa malam itu dia ingin berjumpa denganku dialam roh(aku pun tidak mengerti). Malam itu juga, seperti dituntun aku bersujud dan berdoa menghadap langit, aku memohon agar teluh tersebut diangkat dari badanku. Kemudian aku menutup mata dan mulai membaca Ta Pei Cou. Ketika berdoa, kepalaku justru menjadi semakin sangat-sangat gatal,suara-suara serangga tersebut justru semakin berisik berusaha merusak konsentrasiku dan aku juga bisa mendengar suaranya memanggilku. Namun aku tetap berdoa dan tiba-tiba aku melihat sebuah cahaya yang sangat terang menyilaukan dan suara serangga, suara dia hilang seketika dan kepalaku menjadi tidak gatal lagi. Setelah berdoa, aku berdiri menatap cermin dan aku sudah tidak melihat cacing dibalik kulit kepalaku. Sejak itu, aku memblokir dia dari hidupku.

Karena tahun baru, Papa dan Mama meninggalkan Jakarta. Mama pun memanggilku pulang agar kami bisa melewatkan tahun bersama di rumah, namun aku menolaknya. Aku tidak ingin kembali hidup diliputi keributan yang tidak jelas, setiap hari. Aku bahkan bersembunyi di toilet setiap mendengar suara Koko. Setelah 6 bulan hidup sendiri di perantauan, menjelang imlek, Mama kembali mendesakku untuk pulang. Karena tidak tega, aku pun pulang. Aku tau Mama dan Papa setiap hari tersiksa karena Koko setiap hari pulang marah-marah entah karena apa. Suasana dalam rumah, sangat tidak nyaman membuat kondisi kesehatan Papa dan Mama pun menjadi tidak stabil. Setiap malam, aku berharap agar aku tidak terbangun besok pagi. Namun aku kembali kuatir dengan keadaan Papa dan Mama, siapa yang akan merawat mereka ??? Mau tak mau, aku harus bertahan.

Pada pertengahan tahun itu, Koko menyuruhku ke toko, karena beberapa pegawainya tidak masuk. Tapi karena kuatir Koko akan memukulku, maka Mama juga ikut ke toko. Yah, sudah 3 tahun ini aku dan Mama tidak menginjakkan kaki ke toko. Sesampai disana, aku melihat CCTV toko yang rusak. Karena aku melihat kesibukan toko yang bisa dikendalikan oleh Mama, aku pun memutuskan untuk memperbaiki CCTV saja. Ketika aku hendak memperbaiki kamera CCTV yang terakhir, sebelum memanjat, aku seperti mendapatkan peringatan agar berhati-hati. Namun aku hanya tersenyum sinis, aku hanya menjawab peringatan tersebut bahwa, alangkah bagusnya bila kehidupanku bisa berhenti saat itu juga. Kemudian aku memanjat dan membetulkan kamera terakhir itu. Setelah selesai, tiba-tiba aku yang masih posisi memanjat merasa pusing dan tanganku terlepas dari pegangan. Dalam detik-detik tubuhku terjatuh, aku melihat diriku berada di sebuah tempat yang indah, entah mengapa aku merasa damai yang sudah lama tidak aku rasakan dalam hatiku. Aku berjalan disana, namun tiba-tiba ada suara yang memanggilku kembali. Dan aku menjawab aku tidak mau kembali. Namun suara itu kembali memanggilku dan mengatakan bahwa bila aku tidak kembali sekarang, selamanya aku tidak akan bisa kembali. Segera aku berpikir, bagaimana Papa dan Mamaku ??? Siapa yang akan menjaga dan merawat mereka ??? 3tahun hidup bagaikan dalam neraka, sudah membuat kondisi kesehatan Papa dan Mama memburuk !!! Aku pun segera berbalik (aku melihat cahaya yang sangat terang sekali) dan aku melihat badanku sedang jatuh ke bawah, sedikit lagi, tubuhku akan terbentur ke meja kaca yang ditengahnya ada besi dan besi pula mengitari kakinya. Kembali aku mendengar suara untuk memutar badanku ke kiri, karena bila aku membiarkan tubuhku terjatuh seperti itu, aku pasti mati terhantam ke dalam meja kaca itu. Bila aku berputar ke kanan pun sama saja. Segera aku berputar ke kiri dan aku mendarat ke lantai dengan tangan kiriku duluan mendarat. Akhirnya, tangan kiriku patah. Butuh waktu lama bagiku untuk bisa berdiri kembali, karena seluruh badanku sakit. Setelah menenangkan diri, aku memeriksa CCTV kembali dan rupanya semua sudah berfungsi normal. Namun karena toko yang ramai, sambil menahan sakit, aku pun membantu Mama. Setelah satu jam menahan sakit dan toko mulai sepi, aku pun memberitahu Mama bahwa tangan kiriku patah, aku bahkan tidak dapat menggerakkan bahu kiriku. Akhirnya dari toko, aku dan Mama segera ke rumah sakit. Aku menjalani operasi keesokan harinya. Dan Mama terus menemaniku.

Ketika pulang ke rumah, melihat kesedihan di mata Papa melihat lenganku. Orang tuaku melahirkan utuh dan normal, tapi aku membuat diriku sendiri menjadi cacat.

5 bulan kemudian, aku tau hidup Papa tidak akan lama lagi. Padahal keadaan Papa seperti biasa. Aku pergi ke vihara yang biasa aku kunjungi. Aku berjumpa dengan Bhante di sana. Aku menanyakan kepada Bhante, bagaimana caranya aku bisa menjadi Ayya. Yah, aku serius dengan niatku. Aku tau hidup Papa tidak akan lama lagi dan sejak kepergian Papa nanti, Koko akan semakin menyiksa aku dan Mama. Makanya aku berpikir, bila aku meninggalkan keduniawianku, Koko akan berhenti menyiksa Mama, karena sudah menjadi garansi untuk dia bahwa aku tidak akan menjadi saingannya.

Bhante memberiku selembar formulir pendaftaran yang harus ditanda tangani oleh orang tua sebagai tanda persetujuan bila aku membaktikan diri sebagai Ayya.

Aku membawa formulir itu pulang, aku bersujud di kaki Papa dan Mama, memohon Mama menanda tangani kertas tersebut. Namun Mama menolaknya dengan tegas dan aku tidak dapat berbuat apa-apa. Dan Sebulan kemudian, Papa meninggal….

Tapi dua minggu sebelum Papa meninggal, Koko telah mengosongkan barang-barang di toko Papa, menyisakan barang-barang sisa saja. Dia pergi meninggalkan rumah membawa istri dan anak-anaknya, serta dia membuka 4 ruko tokonya sendiri, yang semuanya mengitari toko Papa. Satu unit tokonya berada beberapa blok di sisi kanan dari toko Papa, satu unit berada beberapa blok di sisi kiri dari toko Papa, satu unit berada seberang dari toko Papa dan satu unit berada di belakang toko Papa

Penagih utang berdatangan memaki-maki Mama. Mereka tidak percaya bahwa Mama tidak tau menahu tentang utang yang tertumpuk. Padahal selama 3 tahun, aku dan Mama sudah tidak mencampuri urusan toko, kami bahkan tinggal terpisah dari toko (aku sadar, ini hanyalah masalah intern kami, dimana orang luar tentu tidak tau). Aku saat itu terus di samping peti jenazah Papa, mendoakan Papa. Aku tau, ini adalah awal perjalanan Papa yang baru dan aku harus “mengantarnya”. Koko bahkan datang, mendorong Mama begitu saja ke lantai dan memaki Mama dengan sebutan anjing. Koko menyalahkan kami yang tidak mengabarkan tentang kematian Papa. Koko bahkan mengatakan kepadaku disamping jenazah Papaku bahwa diantara aku dan Koko, hanya satu yang boleh hidup !!!                                                                                                                         Aku tidak tidur malam itu, semuanya terasa bagaikan mimpi. Waktu itu, aku berusia 27tahun.

Setelah kepergian Papa, aku baru tau bahwa ternyata adik angkatku selama 2tahun sekolah di SMU, dia menyewa sebuah mobil yang dia parkir di rumah temannya dan dia pun menyicil mobil dengan menggunakan nama orang lain yang dia parkir juga di rumah orang lain(akhirnya orang tersebut datang ke rumah meminta pembayaran cicilan mobil). Adik angkatku juga enggan mengenakan pakaian putih sebagai tanda berkabung, karena dia tau Papaku bukanlah Papanya (akhirnya dia memakainya karena aku memaksanya).  Semua itu terbongkar karena aku membatasi pengeluaranku yang tidak perlu mengingat aku harus menyicil pembayaran utang-utang, menyicil rumah karena kami harus pindah, membayar bunga bank karena ruko lama Papa telah diagunkan, membiayai sekolah adik angkatku, membiayai pengobatan Mama dan biaya-biaya lainnya.

100 hari setelah Papa meninggal, aku dan Mama pindah rumah, karena Koko telah menggadaikan rumah tersebut untuk membayar sebagian kecil utang-utangnya. Waktu itu, setiap hari Mama hanya ingin bunuh diri. Mama kehilangan semangat hidupnya, Mama juga tidak dapat berjalan ketika itu karena adanya masalah pada kedua lututnya.

Di rumah yang baru, aku membuka tokoku sendiri dengan barang seadanya. Di rumah itu, aku tidur sendirian di lantai 2, sedangkan Mama dan adik angkatku tidur dilantai 1. Bertahun-tahun hidup dalam tekanan membuatku insomnia. Malam pertama tidur di rumah baru, selimutku yang awalnya menutup sampai ujung kakiku, mendadak terangkat sendiri melayang sampai kelututku. Aku malah menarik kembali selimutku sampai menutupi kakiku. Kemudian aku berteriak marah,”Coba ulangi lagi kalau berani!!!”.                                                                                                                       Malam kedua, terdengar suara piring-piring pecah dari dapur yang terletak di depan kamarku. Aku pun keluar kamar dan berteriak,”Ayo kita perang!!!”. Dan suara ribut itu pun hilang.                                                                       Pada Malam ketiga, kami tidur di rumah itu, laci meja altarku terbuka sendiri dan kitab-kitab suci yang seharusnya didalam laci, malah berserakan diatas meja. Setelah malam ketiga itu, rumahku menjadi tenang.

Sejak Papa meninggal, aku dihantui oleh penagih utang, preman suruhan Koko, petugas pajak yang mempermasalahkan pembayaran pajak Papa selama ini yang katanya kurang, serta kondisi kesehatan Mama yang terus menerus memburuk yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga melihat barang melayang pun, aku sudah tidak takut.

Namun walau hari-hariku seperti itu, setiap pagi dan malam aku berdoa. Karena dalam doa, aku mendapatkan kesadaran dan kekuatanku kembali, walau kadang dalam doaku aku menangis. Tak lupa setelah berdoa, aku melakukan pelimpahan jasa.    

Seminggu sekali, aku kedatangan tamu dari sebuah ajaran agama yang mengajakku untuk dibaptis. Kata mereka dengan dibaptis, Papaku bisa masuk ke surga. Karena aku sudah lelah mendengar ceramah mereka tiap minggu, akhirnya aku bersedia di baptis. Ditambah lagi ada sepupuku yang menelpon mengomeliku, menuduhku tidak ingin Papaku masuk surga (hal ini tidak mengherankan karena dia juga pengikut aliran tersebut). Meskipun aku tau ke alam mana seseorang akan terlahir, itu tergantung dari karma perbuatan orang tersebut sendiri.                                                                                             Pada malam yang ditentukan, aku mengendarai mobilku ke tempat ibadah dimana aku akan dibaptis. Hanya ada 5 orang di sana dan tidak ada umat lain. Setelah mengisi formulir dan membayar “biaya masuk surga”(katanya), aku pun dibaptis. Setelah aku dibaptis, mendadak turun hujan lebat sekali sampai jarak pandang hanya tersisa 1 meter saja. Setelah semua prosesi selesai, Aku segera lari naik kembali ke mobilku(waktu sudah menunjukkan jam 11 malam dan suasana sepi) namun begitu mobilku aku nyalakan, mobilku malah melayang. Rupanya ban mobilku sebelah masuk ke dalam selokan yang cukup besar. Dalam kalut, aku berdoa memohon ampun dan aku berjanji tidak akan pernah datang ke tempat itu lagi. Aku pun turun dari mobilku dan berjalan dalam hujan deras itu. Seketika aku melihat segerombolan pria berjalan ke arahku. Aku pun segera menghampiri mereka, meminta pertolongan. Mereka pun beramai-ramai mengangkat mobilku. Bahkan salah satu dari mereka malah terjatuh ke dalam selokan yang memang cukup besar itu. Aku segera turun dari mobilku hendak memberi mereka imbalan uang, namun tidak ada seorang pun yang bersedia menerima uangku. Mereka semua ikhlas menolongku dan aku sungguh sangat bersyukur karenanya. Setelah berjalan 10 menit, hujan malah reda dan aku pun pulang ke rumah dengan selamat.

Semenjak kecil, aku selalu merasa minder, karena aku memiliki pola pikir yang berbeda dengan anak-anak seumuranku, ditambah fisikku yang sakit-sakitan. Hal itu membuatku menjadi anak yang pendiam dan tertutup.

Setelah dewasa, aku baru memahami bahwa aku adalah starseed yang terhubung dengan spirit guide yang menjagaku dari kecil. Itu sebabnya mengapa bila aku nakal, tubuhku bisa lebam sendiri, kemudian aku tidak bisa sembarang berkunjung ke tempat tertentu dan masih banyak kejadian lainnya.


(https://kumparan.com/selidik/starseed-lebih-aneh-dari-indigo)

Dan aku menulis ini, untuk membantu orang tua dan anak-anak yang memiliki gejala-gejala yang mirip denganku, untuk lebih menerima. 

Karena kelebihan tersebut, dapat digunakan untuk menolong orang sekitar dan untuk kebaikan.

It's okay, you're just different...

 

Komentar